Arogansi Pemimpin Dunia dan Hilangnya Peran PBB

Di tengah konflik global yang semakin memanas, kita menyaksikan kebangkitan arogansi sejumlah pemimpin dunia, khususnya dari negara-negara adikuasa. Ancaman terbuka terhadap pemimpin negara lain, penggunaan kekuatan militer secara sepihak, hingga pelanggaran terhadap hukum internasional semakin sering terjadi. Ironisnya, semua itu dilakukan dengan dalih demokrasi, perdamaian, atau keamanan global.


Namun faktanya, tindakan seperti ancaman pembunuhan terhadap kepala negara lain dengan misil bukan hanya pelanggaran HAM, tetapi bentuk nyata dari terorisme negara. Ini adalah sinyal bahwa sebagian pemimpin dunia tidak lagi menghormati asas diplomasi atau kedaulatan bangsa lain. Mereka merasa berhak menentukan siapa yang berkuasa, siapa yang harus digulingkan, bahkan siapa yang boleh hidup atau mati.

If  say: Peace through strength.’ First comes strength, then comes peace.

Pernyataan ini terdengar seperti semboyan diplomasi, namun jika keluar dari mulut pemimpin negara penjajah, maknanya menjadi ancaman terselubung. Kekuatan dulu, baru perdamaian — tapi kekuatan macam apa? Kekuatan misil? Kekuatan invasi? Kekuatan untuk menjatuhkan pemimpin yang tak sejalan?

Jika kekuatan adalah awal dari perdamaian, maka dunia harus bersiap menerima masa depan yang penuh penindasan dan penjajahan. Karena bagi mereka yang menyuarakannya, kekuatan bukan tentang perlindungan — melainkan dominasi.

Selama ini, kita menyaksikan bagaimana negara-negara seperti Amerika Serikat dan Israel menggunakan kekuatan militer untuk mengintervensi, membunuh, dan menguasai. Mereka menyebutnya “demi perdamaian dunia”, padahal dunia tahu: itu adalah bentuk kekerasan yang dilegalkan.

Yang lebih menyedihkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang seharusnya menjadi penengah dan penjaga perdamaian dunia, tampak kehilangan wibawa dan taringnya. Ketika negara kuat melanggar hukum internasional, PBB seolah diam atau tidak mampu bertindak tegas. Peran PBB kini dipertanyakan: apakah masih relevan, atau hanya menjadi alat simbolik yang dikendalikan oleh kepentingan negara tertentu?

Sudah saatnya negara-negara di dunia, terutama yang selama ini menjadi korban intervensi, bersatu untuk menegaskan kedaulatan dan haknya. Dunia butuh sistem yang adil, bukan dominasi satu atau dua kekuatan besar yang bertindak sewenang-wenang. dan saatnya negara-negara yang tak memiliki senjata nuklir bersatu. Karena sejarah membuktikan: jika Anda tak punya kekuatan yang ditakuti, Anda akan menjadi target berikutnya.

The UN is silent. The world watches. Justice fades. And the strong rewrite the rules.

Peace through strength" is a lie when missiles speak louder than dialogue

                                                                                                 Idrus Haddar